--> Sejarah Asmak Malaikat | Kanjeng Ibad

tempat rekresi intelektual dan kazanah keilmuan


Wednesday, April 16, 2014

Sejarah Asmak Malaikat

| Wednesday, April 16, 2014
Hadirnya naskah ini adalah untuk memberi Anda informasi tentang sebuah "ilmu selamat" yang diturunkan oleh Sunan Muria kepada Mbah Ahmad Anshori ketika ia berpuasa mencari ketenangan batin selama 2 tahun di gunung Muria, Jawa Tengah. Tulisan ini adalah hasil wawancara dengan Mbah Ahmad Anshori.
Mbah Ahmad Anshori Pewaris Pertama Asmak Malaikat
Nama kecilnya Jastro Tumbas, lahir pada tahun 1931, adalah penemu sekaligus pakar utama ilmu keselamatan Asmak Malaikat. Sekarang beliau lebih dikenal dengan panggilan Ahmad Anshori. Disebut “penemu ilmu keselamatan Asmak Malaikat” karena ia mendapatkan ilmu bukan dari berguru pada manusia, melainkan ia secara tidak sengaja dan tidak diharapkan, mendapat pelajaran langsung dari Sunan Muria, salah satu anggota Wali Songo yang jenazahnya disemayamkan di Gunung Muria, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia.
Perjalanan hidup Mbah Ahmad Anshori boleh dikatan tidak selalu mulus. Pernikahan pertamanya kandas karena faktor ekonomi kurang mengdukung, yang menyebabkan keluarganya kurang harmonis. Karena itu, pada pertengahan tahun 1970-an ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dengan tujuan yang tidak jelas. Kepergiannya ini bukan karena lari dari tanggung jawab, melainkan karena kehadiranya di rumah sudah tidak diharapkan oleh mertua (baca: orang tua istri).
Dari desanya di wilayah pedalaman Jepara, Mbah Anshori menumpang truk pengangkut barang. Ketika ditanya mau kemanakah Mbah Anshori oleh sopir truk, Mbah Anshori menjawab “Sampai tujuan akhir truk ini, saya ikut saja”. Ternyata, truk itu berhenti di desa Gembong, Pati. Selanjutnya Mbah Anshori berjalan kaki mengikuti kata hatinya hingga akhirnya menjelang magrib, seseorang mempersilakannya menginap. “Saya dipersilakan menginap di kediaman Mbah Joyo Suwito” tegasnya.
Joyo Suwito adalah perangkat desa (kebayan) di dukuh Bengkal, Gembong, Pati yang berprofesi sebagai dukun yang cukup terkenal di wilayah Pati, Kudus dan Jepara.
Mbah Anshori tidak tahu bahwa wilayah yang disinggahinya itu berdekatan dengan makam Sunan Muria. Maka, ketika banyak peziarah berjalan kaki menuju makam Sunan Muria, ia pun ikut-ikutan. Niatnya saat itu hanya mencari ketenangan batin saja.
Sesampai di makam Sunan Muria, Mbah Anshori merasa tempat tersebut kurang tenang untuk melakukan tirakat disebabkan ramainya peziarah. Ia pun mencari tempat lain berjarak sekitar 500 meter dari makam Sunan Muria, yaitu makam Pangeran Gadung Sosro Kusumo, paman dari Sunan Muria.
Sejak saat itu, di makan sunan Gadung, ia melakukan laku batin dengan puasa dan hanya buka serta sahur dengan pisang, bahkan jika tidak ditemukan makanan, untuk buka puasanya cukup dengan menjilati telapak tangannya. Selama puasa itu ia mengamalkan wirid, doa dan apa saja untuk menenangkan hatinya dan berdoa agar Tuhan memberikan petunjuk atas problem hidup yang yang dialaminya.
Hal itu dilakukannya hampir 2 tahun hingga akhirnya, suatu malam ia ditemui seseorang yang memperkenalkan diri sebagai Pangeran Gadung Sosro Kusumo dan menawarkan diri untuk mempertemukannya dengan Sunan Muria. “Saat itu saya tidak mimpi. Saya sadar ketika berjalan di belakang Pangeran Gadung menuju Makam Sunan Muria.” kata Mbah Anshori.
Selanjutnya, Mbah Ansori dipertemukan pada Sunan Muria. Tapi pada pertemuan awal itu tidak banyak yang disampaikan kepada Mbah Anshori. Sunan Muria hanya berpesan jika Mbah Anshori hendak menemuinya, ucapkan salam saja dari jarak jauh dengan suara lirih.
Mbah Anshori pun kembali ke makam Pageran Gadung guna meneruskan tirakatnya. Hingga suatu saat ada petunjuk untuk ziarah ke makam Sunan Muria lagi. Maka, ia pun ingat pesan agar mengucapkan salam dari kejauhan. Yang kemudian terjadi, Sunan Muria menjawab salamnya, bahkan beliau memberikan wejangan berbahasa Arab campur Jawa.
Dikisahkan, “ilham dari alam gaib” itu prosesnya sekali terdengar telinga, langsung melekat dihati, dan selamanya mampu dihafalnya. Tapi, walaupun hafal, saat itu Mbah Ansori tidak tahu apa manfaat dari wejangan yang diterimanya karena Sunan Muria belum menjelaskan mengenai manfaat wejangan tersebut. (Wejangan = petuah-petuah berupa ajaran sebuah ilmu batin yang disampaikan guru kepada muridnya)
Baru diketahui manfaat wejangan itu saat ia turun gunung menuju kediaman Mbah Joyo Suwito. Mbah Anshori menceritakan dan mengajarkan wejangan yang didapatnya dari Sunan Muria kepada 7 orang penduduk dukuh Bengkal diantaranya yang masih hidup sampai naskah ini ditulis adalah Soleh, Kasmin, Sidik, dan Basir.
Sungguh unik cara Tuhan mengajarkan sebuah ilmu pada Mbah Anshori. Ya.. karena salah satu orang dari 7 orang itu terlibat perkelahian setelah mendapatkan wejangan dari mbah Anshori itu. Sungguh tak disangka, ternyata orang tersebut kebal, tidak terluka meskipun berkali-kali terkena sabetan senjata tajam dalam perkelahian. Kejadian unik ini kemudian dilaporkan kepada Mbah Anshori. Kejadian itu membuat Mbah Anshori menduga bahwa wejangan yang dari Sunan Muria adalah ilmu untuk keselamatan.
Merasa mendapatkan ilmu baru yang belum sempurna, Mbah Anshori pun kembali tirakat di makam Pangeran Gadung dan di Makam Sunan Muria. Petunjuk Gaib pun terus membimbingnya, bahkan dalam kurun waktu 2 bulan ia menerima lanjutan dua ilmu yang bacaan doa-nya cukup panjang. Ternyata, yang diterima pada tahap 2 dan 3 pun bukan sekedar ajaran ilmu kanuragan, melainkan tata-cara menurunkan ilmu itu kepada orang lain.
Perkembangan Asmak Malaikat
Saat Mbah Anshori baru menerima ilham wejangan tingkat 1, beberapa orang sudah ada yang belajar ilmu padanya, yaitu tamu-tamu Mbah Joyo Suwito. Namun setelah Mbah Joyo menerima ilmu Asmak Malaikat dari Mbah Anshori, Asmak Malaikat pun berkembang lebih pesat karena pada saat itu nama Mbah Joyo Suwito sudah terkenal dan memiliki banyak murid.
Proses belajar Joyo Suwito kepada Mbah Anshori pun cukup unik. Karena sudah memiliki nama besar dan malu jika diketahui murid-muridnya, saat menerima wejangan pun dilakukan dipinggiran sungai pada tengah malam hari.
Ketika Asmak Malaikat mulai dipelajari banyak orang dari daerah sekitar Gunung Muria (Pati, Kudus, Jepara) juga dari luar Jawa, khususnya para transmigran, nama Mbah Anshori sebagai pemilik “hak paten” ilmu itu justru tidak dikenal orang, justru orang mengira penemu ilmu itu adalah Mbah Joyo. Joyo Suwito itu sendiri menerima ilmu dari Mbah Anshori pada gelombang kedua setelah 7 penduduk dukuh Bengkal diantaranya Soleh, Kasmin, Sidik, dan Basir.
Setelah menerima wejangan ilmu sampai tingakat kunci, Mbah Anshori pun “turun gunung” dan kembali ke kampung kelahirannya di sebuah desa kecil di pedalaman Jepara. Aktivitasnya dalam keseharian pun berubah. Ia yang semula kerja secara serabutan, berubah menjadi guru ilmu kanurangan. Asmak Malaikat pun makin berkembang ketika suatu hari terjadi pergolakan di suatu daerah. Mbah Anshori menerima banyak tamu untuk "mengisi" penduduk secara masal. Tujuannya untuk keselamatan, karena pihak penyerang menggunakan senjata tajam dan mesin gergaji.
Memasuki tahun 80-an Asmak Malaikat makin berkembang seiring dengan makin banyaknya orang belajar pada mbah Anshori. Tragisnya, murid-murid yang kemudian juga “buka praktek” mengajarkan Asmak Malaikat, justru murid yang belum menyelesaikan tahapan ilmu secara sempurna.
Menurut mbah Anshori, ada beberapa murid yang baru tingkat 1 dan 2 sudah berani memberi pelajaran. Murid macam Ini disebut murid nekat. Jika yang sudah tingkat 3 lalu memberikan pelajaran orang lain, itu masih disebut wajar. Namun jika ingin lebih sempurna, seorang guru Asmak Malaikat harus menguasai paling tidak tingkat 4.
GAMBAR GUNUNG MURIA

Related Posts

No comments:

Post a Comment

terimakasih telah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar